Sebagaiseorang sahabat yang sangat selektif dalam menerima dan mengamalkan Hadis, Ibnu Umar berkepentingan untuk mengkroscek secara langsung kebenaran kabar yang beredar di masyarakat Madinah. Memang, Rasul mengajarkan tata cara buang hajat dengan duduk serendah mungkin untuk menghindari percikan najis.
JAKARTA - Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi. Periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Kisah yang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. Abu Ghaddah mengaku, menulis kitab itu bukan tanpa alasan. Semua berawal dari rasa penasaran dan rasa ingin tahunya tentang kiprah ulama dalam mencari ilmu. “Apa tujuan dan manfaat para ahli fikih membahas kasus-kasus yang dalam hitungan akal sehat—atau bahkan, menurut fakta sehari-hari dan kacamata agama—tak pernah dan tak mungkin terjadi?’’ ujarnya. Dalam istilah fikih, kerap disebut dengan fikih nawadir. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tulis Abu Ghaddah. Dari rasa penasaran itulah, ia melakukan penelusuran. Ia dibuat takjub ketika membaca karya Jurji Zaidan yang berjudul Ajaib Al-Makhluqat, sebuah buku yang mengisahkan tentang keunikan dan peristiwa luar biasa dari makhluk yang hidup di alam semesta. Terlebih, dalam buku itu sang penulis menyertakan beberapa gambar untuk memperkuat informasi yang disajikan. Satu pernyataan Abu Ghaddah pun terjawab. Ternyata, apa yang dibahas oleh para ulama di berbagai disiplin ilmu itu adalah salah satu dari fenomana yang ada di alam semesta. Abu Ghaddah merasa, betapa seorang ahli fikih pada zaman dulu mampu memprediksikan dan membahas kasus-kasus lalu menjelaskan hukumnya. Sebuah langkah besar yang tentu memerlukan kesungguhan dan ketelatenan. Konkretnya, tema ini sengaja dipilih oleh Abu Ghaddah tatkala tempatnya mengajar memberikan amanat kepadanya untuk mem berikan pelajaran dan ceramah umum pada Fakultas Syariah di Universitas Ibnu Su’ud, Riyadh. Tema utama yang mesti dikupas dalam ceramahnya tersebut sepu tar kondisi saat para ulama dan cendekiawan Muslim masa dulu sewaktu mencari ilmu. Abu Ghaddah mengelompokkan bentuk kesungguhan para ulama dalam dunia keilmuan ke dalam enam aspek yang berbeda. Pertama, ia mengelompokkan kisah-kisah ke tangguhan para ulama untuk melakukan “wi sata ilmu” atau rihlat fi thalab al ilm. Ke dua, ia menceritakan tentang keseriusan pa ra ulama dengan meninggalkan segala ben tuk kenikmatan, baik tidur di waktu siang dan malam hari, maupun rasa nikmat lainnya. Ketiga, kesabaran dan penerimaan mereka terhadap kondisi perekonomian dan sulitnya hidup. Keempat, Abu Ghaddah menceritakan ketangguhan para ulama untuk menahan lapar dan dahaga selama menuntut ilmu. Kelima, para ulama yang kehabisan bekal dan ongkos saat menuntut ilmu dan perjuangan mereka dalam keterasingan. Keenam, mengisahkan tentang kesulitan yang dialami oleh para ulama tatkala buku mereka raib atau hilang, dicuri, serta terbakar. Bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, dalam kitabnya, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq yang mengisahkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada gurunya bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, ia sering kali tak tidur di malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan. Kegigihan lainnya ditunjukkan oleh Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, dia mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik. Bahkan, karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim sering tidak mengetahui bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meningalkan rumah, tidak seperti kamu yang tertidur.” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini cukup memukul Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascakebakaran tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu. Al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberi uang sebesar dinar koin emas kepada Ibnu Lahiah. Namun, bagi para ulama, uang tak dapat menggantikan buku yang berarti sahabat dan teman hidup bagi mereka. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
2Kisah Ibnu Abbas, Si Penggila Ilmu Kisah perilaku semangat menuntut ilmu yang telah tercatat dalam beberapa tulisan adalah kisah Ibnu Abbas. Ia adalah saudara Nabi, anak paman Nabi Muhammad. Namun status itu tidak membuatnya merasa tinggi hati dalam menuntut ilmu.
Kalimat tauhid adalah dasar agama dan asas segala kesempurnaan. Tanpa tauhid, seluruh amalan akan tertolak. Oleh sebab itu, terutama pada masa permulaan islam, para sahabat Rasulullah lebih banyak bersungguh-sungguh dalam mendakwahkan kalimat tauhid dan sibuk berjihad melawan orang kafir, sehingga mereka belum sempat mencurahkan perhatian khusus terhadap ilmu. Walaupun demikian, semangat, gairah, serta kesungguhan mereka telah menghasilkan inti-inti ilmu Al-Qur’an dan Hadits, yang masih terpelihara walaupun 1400 tahun berlalu. Ini merupakan bukti yang jelas, setelah zaman permulaan Islam berlalu, ketika datang kemudahan bagi mereka, dan jamaah-jamaah yang berdakwah semakin bertambah, maka turunlah ayat yang artinya “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” QS At-Taubah 122 Abdullah bin Abbas berkata bahwa dalam QS At-Taubah 39 “ jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” Telah diketahui dari ayat diatas, bahwa Allah mengaruniakan kepada para sahabat rasulullah bahwa kesatuan jamaah saat itu sangat penting. Selain itu, ada satu jamaah kecil yang mempelajari seluruh ajaran agama. Pada zaman tabi’in, islam telah tersebar luas dan menjadi sebuah jamaah besar dan merupakan kesatuan yang kokoh. Karena pada diri tabi’in, tidak terdapat kesatuan seperti pada diri sahabat, maka Allah telah menghidupkan orang-orang yang khusus mempelajari bidang agama. Maka muncullah muhadditsin, yaitu jamaah khusus yang menyusun hadits-hadits dan menyebarkannya. Lalu para fuqaha, yakni ahli fikih, ahli sufi, dan ahli Al-Qur’an dan para mujahidin. Singkatnya, disetiap bidang Allah telah mewujudakan para ahli yang memeliharanya. Hal itu sangat sesuai dan penting pada masa itu. jika tidak, maka sangat sulit untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan dibidang agama karena sangat sulit bagi seseorang mencapai kesempurnaan dan kemuliaan dalam segala hal. Allah hanya mengaruniakan kesempurnaan tersebut hanya pada Nabi khususnya pada Rasulullah. Dalam kaitan ini, juga terdapat kisah sahabat dan tokoh-tokoh lainnya. 1. Kisah Para Sahabat Rasulullah Ahli Fatwa Walaupun para sahabat sibuk berjihad demi menegakkan kalimatullah, semangat mereka dalam menuntut ilmu selalu ada. Setiap kali mereka mendapat suatu kebaikan, mereka akan segera menyebarkannya. Demikianlah kesibukan mereka setiap saat. Namun diantara mereka ada jamaah khusus yang berfatwa ketika Rasulullah masih hidup, diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, Salman Al Farisi, Zaid bin Tsabit, Hudzaifah, Abu Musa, Adu Darda’ radhiyallahu anhum. Talqih Faedah Mereka Telah mencapai kesempurnaan ilmu sehingga diizinkan berfatwa ketika Rasulullah sallahu a’laihi wasallam masih hidup. 2. Kisah Abu Bakar Membakar Kumpulan Hadits Aisyah berkata “ayahku, Abu Bakar memiliki catatan berisi 500 hadits yang dikumpulkan. Pada suatu malam, aku melihatnya sangat gelisah dan berbaringmembolak-balikkan badannya. Aku bertanya “apakah engkau sakit, atau ada seuatu hal yang membebanimu pikiranmu ?” namun pada malam itu, ia tetap gelisah dan cemas. Keesokan harinya, ia bertanya padaku, “dimanakah catatan hadits ku yang pernah kuberikan padamu ?” aku pun mengambilnya dan memberikan padanya. Ternyata beliau membakar catatan itu. aku bertanya “mengapa dibakar?” ia menjawab “aku ragu jika ada kekhilafan lalu aku meninggal, sedangkan catatan ini masih ada padaku. Jika sampai ketangan orang lain, lalu mereka menganggapnya muktabar dipercaya, padahal tidak dan ternyata dalam catatan ini ada kesalahan, tentu itu akan mencelakakanku. Tadzkiratul Huffadz Faedah Walaupun Abu Bakar memiliki kedalamn dan semangat ilmu yang tinggi sehingga dapat mengumpulkan 500 hadits dalam catatannya, ia membakarnya karena kehati-hatiannya yang sempurna. Hal ini terjadi pula pada sahabat-sahabat yang lain, mereka sangat hati-hati dengan hadits Rasulullah. Oleh karena itu, sebagian besar sahabat rasulullah hanya meriwayatkan sedikit hadits. Ini pula yang menyebabkan mengapa Imam Abu Hunaifah sangat sedikit meriwayatkan hadits. 3. Kisah Abdullah bin Abbas dalam Menuntut Ilmu Abdullah bin Abbas bercerita “setelah wafat rasulullah, aku berkata kepada seorang Anshar, Nabi telah meninggalkan kita, tetapi sahabat masih banyak yang hidup diantara kita. Mari kita temui mereka untuk bertanya dan menghafalkan kembali urusan agama.” Namun sahabat Anshar tidak bersedia atas ajakan Abdullah bin Abbas. Lalu Abdullah bin Abbas berkata “dan kebanyakn ilmu yang aku dapatkan adalah darikaum Anshar, dan aku akan menjumpai beberapa orang sahabt dan menanyakannya. Jika ku dengar mereka sedang tidur di rumahnya maka, aku akan menghamparkan kain untuk duduk sambl menunggu di depan rumahnya, sehingga muka ku penuh dengan debu, dan tubuhku sangat kotor. Setelah ia bangun, aku bertanya kepadanya mengenai masalah yang terjadi dan mengenai maksud kedatanganku.” Namun sebagian besar berkata “Engkau adalah keponakan Rasulullah, mengapa engkau menyusahkan diri untuk datang kemari, mengapa engkau tidak memanggilku ?” Jawabku “Aku sedang menuntut ilmu, jadi akulah yang wajib mendatangimu.” Faedah Dari cerita diatas, selain dapat diketahui tentang ketawajuhan dan kerendahan hati Ibnu Abbas terhadap gurunya, juga dapat diketahui akan ketinggian semangat serta perhatiannya terhadap ilmu. Apabila ia, mendengar hadits yang tersimpan pada seseorang, ia akan langsung mendatanginya dan mempelajarinya, walaupun harus berusaha keras dan bersusah payah. Tanpa usaha dan susah payah, sesuatu yang sepele tidak akan didapat, apalagi ilmu yang tidak ternilai harganya. “Barang siapa mencari derajat ketinggian Hendaklah ia berjaga pada waktu malam..”
KisahIbnu Umar dan Semangatnya Menuntut Ilmu Jafar Tamam 23 Juni 2018 19631 Ketika itu para Sahabat saling berbisik satu sama lain. Mereka memperbincangkan sebuah isu yang beredar di kalangan masyarakat Madinah.
MENELADANI sahabat Nabi dalam menuntut ilmu. Seperti diketahui, kita mengenal bahwa sahabat Nabi adalah orang-orang yang memiliki ilmu luar biasa. Baca Juga Mengenal Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas&8217;ud yang Akhlaknya Paling Mirip dengan Rasulullah Namun, ilmu-ilmu yang didapatkan tidaklah diraih secara instan. Perlu semangat, kerja keras, dan semacamnya. Selain itu, mereka juga serius untuk memahami suatu ilmu. Kita pasti sering mendengar banyak kisah perjuangan-perjuangan sahabat untuk belajar sebuah ilmu. Ada yang harus rela bepergian jauh untuk menuntut ilmu, dan berbagai perjuangan lainnya. Kemudian, para sahabat juga sangat berhati-hati ketika menerima sebuah ilmu. Oleh sebab itu, ketika mereka ingin mengetahui suatu hal, para sahabat bertanya langsung kepada sumber yang terpercaya, yaitu Rasulullah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, ومن تدبر أحوال الصحابة وجد أنهم أحرص الناس على العلم وأنهم لا يتركون شيئا يحتاجون إليه في أمور دينهم ودنياهم إلا ابتدروه والله الموفق. “Barang siapa yang memperhatikan keadaan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, niscaya dia akan mendapati bahwa mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam hal ilmu. Tidaklah mereka meninggalkan sedikit pun perkara yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia melainkan mereka bersegera menanyakannya, wallahul-muwaffiq.” Sumber Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 263. Alih Bahasa Abu Fudhail Abdurahman Ibnu Umar غفر الرحمن له.
Padahalaku tidaklah gila, namun aku sedang tertimpa kelaparan." (HR. Bukhari no. 7324) Lihatlah perjuangan sahabat Nabi yang satu ini, sabarnya menahan lapar di masjid Nabi hingga pingsan tak sadarkan diri Tak lain semua itu beliau lakukan demi ilmu. Beliau tak tergiurkan dengan gemerlapnya dunia di luar sana!
Sejenak Menengok Kisah Salaf Abu Hurairah radhiyallahu anhu dalam menimba ilmu, bukan main sabarnya!! Menahan lapar hingga pingsan demi mendengar ilmu langsung dari sumbernya. Dalam salah satu kesempatan, Muhammad bin Sirin rahimahullah, salah seorang murid Abu Hurairah berkisah, “Suatu ketika kami sedang berada di sisi Abu Hurairah radhiallahu anhu, ketika itu beliau mengenakan dua pakaian yang dicelupkan dalam lumpur merupakan pakaian bagus pada zaman dahulu berbahan kattan kain linen putih –pent.. Lalu beliau menyeka ingus dengan kain tersebut seraya berkata, Bakh, bakh kata takjub terhadap dirinya, Abu Hurairah mengelap ingus dengan kain dari kattan? Sungguh dulu aku pernah pingsan di antara mimbar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kamar Aisyah, tiba-tiba datang seseorang menginjak leherku, dia menyangka bahwa aku adalah orang gila. Padahal aku tidaklah gila, namun aku sedang tertimpa kelaparan.” HR. Bukhari no. 7324 Lihatlah perjuangan sahabat Nabi yang satu ini, sabarnya menahan lapar di masjid Nabi hingga pingsan tak sadarkan diri‼ Tak lain semua itu beliau lakukan demi ilmu. Beliau tak tergiurkan dengan gemerlapnya dunia di luar sana! Baik perdagangan, pertanian, peternakan, atau pun urusan dunia lainnya. Kisah lain dari sahabat Jabir bin Abdillah, beliau melakukan perjalanan menuju rumah Abdullah bin Maisarah radhiallahu anhu selama satu bulan lamanya demi satu hadis yang belum beliau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Faedah Berharga dari Dua Kisah Di Atas Dua kisah ini menunjukkan semangat juang mereka dalam thalabul ilmi, menahan lapar, panas, godaan dunia, dan kesusahan-kesusahan lainnya. Dengan itu, mereka menjadi para pemimpin yang membimbing umat di atas agama Allah, sebagaiaman Allah katakan di dalam Kitab-Nya, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” QS. As-Sajdah 24 Maka wahai para pejuang ilmu! Ini adalah contoh nyata dari para salaf. Di sana masih banyak kisah perjuangan mereka yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan atau mungkin ribuan, tentang mereka yang berjuang dan sabar dalam menuntut ilmu agama Allah ini. Artikel Kami Keteladanan al-Imam at-Tirmidzi dalam Menuntut Ilmu Mencoba Introspeksi Diri Di saat kita membaca kisah perjuangan mereka, mari bandingkan dengan diri-diri kita, niscaya kita akan malu. Sangat sedikit ilmu yang kita dapat, sangat sedikit ilmu yang kita pelajari, sangat kurang semangat juang kita dalam menuntut ilmu. Dari sini kita akan berusaha mengintrospeksi diri untuk lebih bersemangat lagi dalam thalabul ilmi, terkhusus di masa-masa yang penuh dengan ujian dan fitnah, di masa-masa menjelang berakhirnya dunia yang fana ini. Semakin berat ujian dan godaan. Nasalullah as–salamata wal afiyah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita keistikamahan dalam thalabul ilmi serta keikhlasan dalam menuntutnya hingga ajal menjemput. Amiin Yaa Man Anta ala kulli syaiin qadir wabil ijabati jadir. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
IbnuHamzah berkata: "Imam Ya'qub bin Sufyan berkata kepadaku: " Saya telah mengadakan perjalanan jauh (untuk menuntut ilmu) selama tiga puluh tahun.". Kisah-kisah kesungguhan para ulama salaf dalam mengadakan perjalanan jauh demi menuntut ilmu sungguh sangat banyak dan telah diabadikan dalam buku-buku sejarah Islam.
Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I al-Muththalibi al-Qurasyi atau lebih terkenal dengan sebutan Imam Syafi’I merupakan tokoh agama islam yang mempunyai peran penting. Beliau merupakan pendiri dari mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri dari mazhab Syafi’i. Beliau juga masih tergolong dalam kerabat Rasulullah yang masuk di Bani Muththalib atau keturunan al-Muththalib, saudara dari Hasyim atau kakek dari Muhammad. Imam Syafi’I lahir pada tanggal 767 M/150 H yang bertempat di Gaza, Palestina. Ibu dari Imam Syafi’I bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah dan ayahnya bernama Idris bin Abbas. Kisah dari iman Syafi’I tentunya merupakan sebuah hal yang dapat diteladani oleh setiap muslim yang ada di dunia. Saat Ayah dan ibunya sedang melakukan sebuah perjalanan cukup jauh dengan menuju kampung Gaza Palestina. Dimana kampung tersebut merupakan tempat berperang membela negeri islam yang berada di kota Asqalan. Sang ayah sudah nama yang begitu indah dimana akan diberikan nama Muhammad jika anaknya laki-laki dan menambahkan nama salah satu seorang kakeknya, yaitu Syafi’I bin Asy-Syaib. Saat usia 2 tahun ayahnya meninggal dunia, disitulah perjalanan yang membuat imam syafi’I menjadi penduduk di Mekkah. Beliau tumbuh besar disana sebagai anak yatim, namun meskipun begitu beliau merupakan seorang anak yang pandai. Hal tersebut terbukti sejak kecil beliau mudah dan cepat menghafal syair, pandai berbahasa Arab, dan Sastra. Imam syafi’I juga dikenal sebagai imam bahasa arab. Perjalanan Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu yang Harus Diteladani Cerita Imam Syafi’I saat Belajar di Mekah Saat usianya mencapai 15 tahun Imam Syafi’I mulai menuntut ilmu fiqih kepada mufti dan itulah awal dari pendidikannya. Saat diusia 15 tahun Muslim bin Khalid Az Zanji mengizinkannya memberikan fatwah. Ini dilakukan agar imam syafi’I bisa merasakan manisnya menuntut ilmu, dengan izin Allah dan hidayah-Nya beliau. Setelah mendapatkan hidayah dari Allah beliau menjadi senang menuntut ilmu fiqih dan syair dalam bahasa arab. Ada banyak sekali guru yang dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu dan Guru Imam Syafi’I lainnya bisa disebutkan secara jelas satu persatu. Beberapa guru dari imam syafi’I di antaranya yaitu Muhammad bin Ali bin Syafi’I, Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Sufyan bin , Fudhail bin Al-Ayyadl, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim, Abdurrahman bin Abi Bakr al-mulaiki, dan lainnya di Mekkah karena beliau tidak pernah merasa cukup dalam menimba atau memperdalam ilmu. Belajar di Madinah Imam Syafi’I merupakan seorang yang haus akan ilmu dan hal tersebut membuat beliau melanjutkan pendidikannya dengan pergi ke Madinah. Di Madinah imam Syafi’I berguru kepada Imam Malik bin Anas untuk mendalami ilmu fiqih. Beliau saat berguru kepada Imam Malik mampu menghafal kitab Muwattha’ hanya dalam 9 malam. Beliau juga meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Syafi’I, Fudhail bin Iyadl, Sufyan bin Uyainah, dan lainnya. Dalam majelis tersebut imam syafi’I mampu menghafal dan memahami kitab Muwattha’ dengan baik. sehingga membuat As-Syafi’I mengaguminya. Beliau juga mengagumi guru-gurunya diantaranya, Imam Malik bin Anas dan Imam Sufyan bin Uyainah, Belajar di Yaman, Baghdad, dan Mesir Kisah Imam Syafi’I dalam menuntut Ilmu tidak sampai di Madinah saja, beliau melanjutkan ke Yaman. Baghdad, dan Mesir. Saat pergi ke Yaman beliau tidak hanya menunut ilmu, tetapi juga bekerja sementara waktu. Sederet ulama yang pernah dikunjungi Imam Syafi’I saat di Yaman di antaranya, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, Mutharrif bin Mazin, dan masih banyak lainnya. Kemudian, beliau melanjutkan perjalanannya ke Irak Baghdad untuk menimba ilmu ke Muhammad bin Hasan. Saat di Irak beliau menulis Madzhab qaul qadim dan saat ke Mesir 200 H menulis yang baru, yaitu qaul jadid. Beliau meninggal saat akhir bulan Rajab 204 H dan dikenal sebagai syuhadaul ilm. Murid Imam Syafi’i Dengan bekal ilmu yang beliau punya tidak meluputkannya menjadi ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antara banyaknya Murid Imam Syafi’i yang paling menonjol adalah murid yang berada di Mesir dan Irak. muridnya yang berada di Mesir ada 3, yang pertama bernama Al Muzanniy yang nama aslinya Isma’il bin Yahya al Muzanniy lahir pada tahun 175 H. Al Muzanniy meninggal pada tahun 254 H, ia menuntut ilmu kepada Imam Syafi’I mulai awal datang ke Mesir sampai beliau wafat. Ia dianggap beberapa Syafi’iyah sebagai mujtahid mutlak yang disebabkan adanya beberapa perbedaan pikiran atau pandangan dengan Imam Syafi’i dalam menghadapi masalah. Al Muzanniy memiliki karya yang bernama Mukhtashor Al Muzanniy yang kemudian dicetak sebagai kaki catatan dari kitab Al Umm. Murid kedua bernama Al Buyuthiy atau Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al Buyuthiy. Dalam berfatwa terkadang Imam Syafi’I meminta pendapatnya untuk berfatwa dan ia juga memiliki Mukhtashor Al Buyuthiy, serta menjadi murid yang senior. Dan yang terakhir Ar Robi’ bin Sulaiman Al Marodiy yang merupakan periwayat kitab Al Umm dan menyalinnya kitab tersebut saat Imam Syafi’I masih hidup. Sedangkan murid yang berada di Irak ada 2 yang menonjol, yaitu Al Hasan bin Muhammad yang wafat tahun260 H dan Abu Ali Al Husain bin Ali yang wafat tahun 264 H. Keteladanan Imam Syafi’I dalam Menuntut Ilmu Dalam Cerita Ulama yang satu ini tentunya terdapat Kisah Teladan Menuntut Ilmu yang dapat ditiru dari Imam Syafi’i. Beliau dalam menuntut ilmu pernah mengalami masalah, seperti mengalami kesulitan dalam menghafal. Beliau menceritakan masalahnya kepada sang guru yang bernama Imam Waqi’. yang kemudian sang guru menasihatinya dengan mengajarkan jika ingin mudah dalam menimba ilmu harus menjauhi perbuatan dosa. karena ilmu yang dicari adalah cahaya dari Allah yang bila sering dan senang berbuat dosa tidak akan mendapatkannya. dari kisah beliau bimbingan dari seorang guru adalah hal yang penting dalam menuntut ilmu, jangan merasa dirinya sudah pintar. Serta jangan sungkan bertanya kepada guru atau meminta sarannya bila sedang mendapatkan masalah. dan yang terakhir memahami kemuliaan dari ilmu yang merupakan warisan dari para Nabi. Dari Kisah Perjuangan Menuntut Ilmu Imam Syafi’I kita bisa mendapatkan pelajaran dalam mencari ilmu. Itulah Kisah Ulama dalam Menuntut Ilmu yang bisa diambil keteladanannya yang bernama Imam Syafi’I sehingga lebih mengetahui perjalanan hidup seorang ulama besar. zakat atau infaq adalah kegiatan yang penting dan wajib bagi seorang muslim yang berkecukupan untuk melakukannya. zakat atau infaq diberikan kepada orang yang membutuhkan, seperti orang miskin, yatim piatu, dan lainnya. untuk menyalurkan atau memberikan Infaq atau zakat bisa melalui Sahabat Yatim yang siap dan amanah dalam menyalurkan bantuan atau zakatnya.
Parasahabat mengatakan pembelajaran yang dominan itu adalah akidah dulu. Mereka mengatakan, "Beruntung sekali kita belajar ilmu setelah keimanan." Jadi, Ustadz Muhammadun berpendapat bahwa adab dan ilmu itu dilakukan secara berbarengan atau bersamaan. Ilmu dapat diakses dengan mudah, bagaimana adab terhadap ilmu?
Imam Yahya bin Yahya menceritakan percakapan pertamanya dengan guru tercintanya Imam Malik bin Anas RA 711 M-795 M/90 H-174 H pendiri Mazhab Maliki. Ia mengisahkan percakapan pertamanya dengan Imam Malik RA yang memberikan kesan bagi perjalanan intelektualitasnya. Imam Yahya bin Yahya wafat 848 M adalah ulama asal Andalusia yang berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia kemudian membawa dan mengembangkan mazhab Maliki di Andalusia. Ia juga periwayat Kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Ia merupakan ulama besar generasi awal Mazhab Maliki. "Siapa namamu, wahai anak muda?" tanya Imam Malik RA saat Imam Yahya remaja menghadiri pertama majelis ilmu gurunya untuk menuntut ilmu. "Semoga Allah memuliakanmu wahai guruku. Namaku Yahya," jawabnya. Ia saat itu adalah santri termuda Imam Malik RA. "Semoga Allah menghidupkan hatimu. Kamu harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah yang dapat membakar semangatmu dalam menuntut ilmu dan mengalihkan perhatianmu dari aktivitas lainnya," kata Imam Malik RA. Imam Malik RA memulai kisahnya. “Suatu hari seorang remaja asal negeri Syam tiba di Kota Madinah. Kurang lebih seusia denganmu. Ia menuntut ilmu kepada kami dengan giat dan sungguh-sungguh. Dalam usia yang begitu belia Allah memanggilnya. Ia wafat. Aku belum pernah melihat kondisi jenazah yang begitu eloknya di Kota Madinah ini.” Almarhum tidak lain adalah salah seorang wali Allah. Ulama Madinah berkumpul untuk menshalatkan jenazahnya. Masyarakat pun ikut berduyun untuk mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika tahu akan antusias dan pernghormatan ulama dan masyarakat yang begitu besar, gubernur Madinah menahan pelaksanaan shalat jenazahnya. “Pilihlah orang yang paling kalian sukai,” perintah gubernur. Ulama Madinah mengajukan nama Imam Rabiah. Imam Rabiah, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id, Ibnu Syihab, termasuk ulama yang paling dekat dengan mereka, Muhammad Ibnu Munkadir, Shafwan bin Salim, Abu Hazim, dan ulama terkemuka lainnya menurunkan jenazah ke liang lahat. Imam Rabi’ah menyusun batu bata pada lahatnya. Mereka memberikan batu bata tersebut kepadanya. Tiga hari setelah pemakamannya, salah seorang yang terkenal sebagai wali Allah di Kota Madinah, kata Imam Malik kepada Yahya remaja, bermimpi melihat almarhum sebagai remaja yang berpenampilan dan berpakaian putih elok sekali. Almarhum mengenakan serban hijau dan menunggang kuda kelabu yang sangat bagus. Ia turun dari langit dan menuju kepada sang wali. Ia mengawali percakapan dengan salam. “Derajatku yang tinggi ini bukan didapat dengan berkah ilmu,” kata remaja belia tersebut. “Lalu apa yang mengantarkanmu ke derajat yang begitu mulia ini?” tanya wali Allah. “Allah memberikanku satu derajat yang begitu tinggi di surga atas setiap bab dalam satu disiplin ilmu yang kupelajari. Namun demikian, derajat-derajat yang begitu tinggi itu tetap tidak membuatku sederajat dengan para ulama. Tetapi Allah yang maha pemurah berkata kepada malaikat, Tambahkan derajat itu kepada ahli waris para nabiku. Aku telah menetapkan dalam diri-Ku bahwa siapa saja yang wafat dalam kondisi memahami sunnah-Ku dan sunnah para nabi-Ku, atau dalam keadaan menuntut ilmu terkait dengannya, niscaya Kukumpulkan mereka dalam satu derajat yang sama.’” “Allah menganugerahkan kepadaku hingga aku meraih derajat para ulama. Aku dan Rasulullah hanya terpaut dua derajat. Pertama adalah derajat di mana ia bersama para nabi tinggal. Kedua adalah derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW dan sahabat para nabi yang menjadi pengikut nabi-nabi di zamannya masing-masing. Di bawah itu adalah derajat ulama dan para santri mereka.” Allah menjalankanku hingga ke tengah halaqah mereka. Mereka menyambut dengan antusian, “marhaban, marhaban.” “Bagaimana Allah memberikan tambahan derajat-Nya untukmu?” tanya wali Allah. “Allah berjanji untuk mengumpulkanku bersama para nabi sebagaimana kusaksikan mereka pada rombongan yang sama. Aku bersama mereka hingga hari kiamat tiba. Bila hari kiamat yang dijanjikan tiba, Allah berkata, Wahai sekalian ulama. Inilah surgaku. Kuizinkan surga ini untuk kalian. Inilah ridha-Ku. Aku telah meridhai kalian. Jangan kalian masuk surga terlebih dahulu sebelum berdiam untuk memberikan syafaat kepada siapa saja yang kalian kehendaki. Aku juga memberikan mandat agar kalian memberikan syafaat kepada mereka yang meminta syafaat kalian agar aku dapat memperlihatkan kepada semua hamba-Ku betapa tinggi kemuliaan dan kedudukan kalian,’” jawab remaja tersebut. Ketika pagi hari, orang yang dikenal wali Allah ini terjaga. Ia menceritakan mimpinya hingga akhirnya kabar tersebut menyebar luas ke seantero Kota Madinah. Kepada Yahya remaja, Imam Malik RA mengatakan, “Dulu di Kota Madinah ini terdapat sekelompok santri-santri yang gemar menuntut ilmu. Seiring waktu semangat mereka dalam menuntut ilmu mengendur hingga berhenti sama sekali. Setelah mendengar kabar dari wali Allah tersebut, mereka kembali menuntut ilmu dengan semangat dan sungguh-sungguh. Mereka itu kemudian yang kamu kenal hari ini sebagai ulama-ulama terkemuka di Kota Madinah. Wahai Yahya, bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini.” * Kisah ini diangkat oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya Indonesia, Al-Haramain Jaya tanpa tahun, halaman 63-64. Wallahu a’lam. Alhafiz Kurniawan
RumahZakat Salurkan Bantuan dan Pendampingan Pelaku Usaha. Berikut ini adalah beberapa kisah ulama salaf dalam mencari ilmu: 1. Jabir bin Abdullah. Dalam kitab Shahih Bukhari, disebutkan bahwa Jabir melakukan perjalanan selama satu bulan untuk menemui Abdullah bin Anis demi memperoleh salah satu hadits dari shahih Bukhari. 2. Ibnu Abbas.
Ilustrasi Kisah Nabi. Foto dok PexelsAbdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang dikenal dengan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Untuk mengetahui kisah Abdullah bin Abbas sebagai sahabat Nabi yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dapat Anda ketahui dalam ulasan singkat berikut Sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas dan Ketekunannya Dalam Menuntut IlmuSeperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, Abdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang sangat dikenal di kalangan umat Islam. Sahabat Nabi yang memiliki julukan atau nama lain Ibnu Abbas ini juga merupakan sepupu Nabi Muhammad yang memiliki jarak umur yang cukup jauh dari Nabi Abbas dikenal sebagai sahabat Nabi yang berpengetahuan luas yang juga memiliki ketekunan dan rasa ingin tahu yang tinggi sehingga tak heran jika cukup banyak hadis shahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas. Abdullah bin Abbas lahir setelah 10 tahun Nabi Muhammad menjalankan dakwah untuk menyebarkan agama buku berjudul Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya karya Ustadz Imam Mubarok Bin Ali 2019162 memaparkan bahwa Abdullah bin Abbas selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini diketahui pada saat Nabi wafat. Meski ditinggal Nabi dalam umur yang cukup dini yaitu umur 13 tahun, Abdullah bin Abbas tidak putus harapan untuk terus menggali pengetahuan yang ingin bin Abbas selalu mencoba mendatangi sahabat Nabi untuk menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahuinya, yaitu tentang ajaran Islam dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW. segala kesempatan digunakannya dengan cermat hanya untuk mendapatkan ilmu dari sahabat Nabi yang telah bersama Nabi lebih lama rasa ingin tahu yang dimiliki Abdullah bin Abbas ini harus kita teladani karena dengan semakin banyak ilmu yang kita ketahui maka semakin banyak juga hal-hal yang dapat kita kerjakan seperti amalan-amalan berpahala. Tak hanya itu, pengetahuan tentang Islam juga wajib dicari karena mencari ilmu merupakan kewajiban tiap-tiap umat islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi pada hadis berikut iniطَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍArtinya ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu MajahPemaparan mengenai kisah Abdullah bin Abbas dapat Anda jadikan sebagai nasihat dan juga wawasan serta pengingat untuk terus menuntut ilmu hingga ajal menjemput. DA
. 4umvpx8sd4.pages.dev/1734umvpx8sd4.pages.dev/2554umvpx8sd4.pages.dev/1114umvpx8sd4.pages.dev/954umvpx8sd4.pages.dev/3144umvpx8sd4.pages.dev/924umvpx8sd4.pages.dev/1834umvpx8sd4.pages.dev/3524umvpx8sd4.pages.dev/306
kisah para sahabat dalam menuntut ilmu